MENYENTUH TUBUH TEATER
(BY TANGAN TUHAN '09)
_Saya
mengibaratkan teater sebagai tubuh manusia dan itu barangkali dapat menjadikan
teater sebagai sesuatu yang lumrah dan akrab bagi kita.
_Kita
tahu bahwa tubuh kita bukanlah “barang jadi”. Ia senantiasa membutuhkan
pengelolaan, penghidupan sendiri, dari awal hingga akhir. Semenjak kita lahir
hingga kita tutup usia, bahkan ia terus bergulir: tumbuh dan berawal dari unsur
renik lalu kembali ke unsur renik secara biologis dan kimiawi. Berbagai
penamaan, berbagai kepentingan, berbagai makna, hingga berbagai material yang
menerpa tubuh kerap mengalami perubahan, perkembangan dari hari ke hari. Tak
elak, tubuh tak pernah mengalami keutuhan yang langgeng, ia fana, setidaknya
sepanjang hirup nafas dan detak jantung masih bisa kita rasakan hingga saat
ini.
_
Kita tahu pula bahwa tubuh kita senantiasa dibangun oleh operasi organ-organ
yang bekerja secara bergantian, simultan, dan sangat jarang mengalami bentrokan
dalam operasi(gerak)nya ketika beraktivitas dengan tujuan tertentu. Ketika
berjalan, tubuh selalu menyelaraskan organ yang mendukungnya: kaki kiri dan
tangan kanan di belakang, kaki kanan dan tangan kiri di depan. Ketika makan,
tangan mengangkat sendok, mulut terbuka, dan mata menatap sambal yang
berkilatan di dalam sebuah mangkuk. Kemudian, meneteslah liur yang hangat dan
kental itu sebelum kita mengecap kepedasan sambal. Setiap operasi tubuh kita
selalu bekerja bersama melalui tahapan yang teratur dan bermotif.
_Begitu
pun tubuh teater. Ia bukan semacam “barang hasil sulap”. Teater dibangun,
digerakan, dioperasikan oleh berbagai organ, berbagai medium, berbagai latihan,
berbagai pola kerja, berbagai anasir sebagaimana tubuh kita dibangun.
Perubahan-perubahan terus terjadi di dalamnya, sebagaimana dinamika pencapaian
tubuh teater terus berkembang.
_Tetapi,
akan ada banyak yang ditinggalkan dalam perkembangan tubuh teater. Penjadian
teater yang sangat ditentukan oleh modal kala dan ruang itu sama halnya dengan
penjadian suatu organisme: banyak meninggalkan jejak, tidak kekal, dan nyaris
hanya selalu bisa dialami oleh mereka yang melakukannya pada saat itu. Juga,
konon, karena tak ada dua pertunjukan teater yang sama dalam lakon yang diulang
pada ruang, penonton, serta pemain yang sama: teater menampik kepentingan untuk
menjadi abadi.
_
Tentu pula, di dalam teater ada banyak kepentingan sesuai dengan berbagai
anasir tadi. Tetapi, jelas pula bahwa berbagai kepentingan itu harus saling
bertemu, menciptakan keberbagaian yang erat dan kental. Tubuh teater tidak
bekerja hanya atas kepentingan satu bagian tertentu yang dominan. Ia terutama
dioperasikan oleh keberbagaian yang menjadi bagian di dalamnya. Boleh jadi,
ketika mulai bersentuhan dengan teater, kita pun mau tidak mau bersentuhan dan
menjadi bagian dari keberbagaian itu.
_Akan
sangat tidak mudah ketika kita mulai menjalani keberbagaian sebagai akibat
logis dari teater jika teater hanya disikapi sebagai cara dan hasil kerja satu
bagian. Cahaya sebagai cara dan hasil kerja penata lampu. Set sebagai cara dan
hasil kerja penata artistik. Lagu sebagai cara dan hasil kerja penata musik.
Tokoh hanya selesai sebagai cara dan hasil kerja aktor. Pertunjukan hanya cara
dan hasil kerja sutradara semata. Jika tak ada hubungan yang mengikat di
dalamnya dan setiap bagian berdiri sebagai kualitas mandiri (tidak berbagi),
sangat disayangkan jika hal itu bisa menjauhkan teater dari tubuhnya sendiri
pada akhirnya.
_Grotowsky
pernah melakukan eksperimen untuk mempertanyakan ulang mengenai hubungan yang
terjadi di dalam tubuh teater. Dia mempertanyakan tentang variabel-variabel
teater yang dapat dicopot (ditanggalkan) dari tubuh teater. Ia bertolak dari
kemiskinan dengan pengertian tidak memiliki sesuatu kecuali sesuatu, bukan saya
memiliki sesuatu selain memiliki sesuatu. Jawaban final dari pertanyaannya
nyatalah pemain, yang memainkan: yang bermain, yang melakukan permainan. Pemain
dalam kaitannya dengan penyempitan (pengurangan) bagian teater yang
dipertanyakan Grotowsky kemudian diperoleh sebagai kata/kerja/ kunci dari
teater.
_Bisakah
teater dilakukan tanpa pemain? Tidak dan tidak akan pernah bisa. Operasi teater
akan selalu bertumpu pada pemain, manusia yang menjadi darah-tulang-daging
tubuh teater. Berangkat dari dan selesai di situlah teater. Perangkat-perangkat
kerja teater lainnya dapat dikatakan bisa menyusul. Tanpa pemain, peran tidak
akan hadir. Tanpa pemain, lampu tidak akan menyala. Tanpa pemain, lagu tidak
akan berbunyi. Tanpa pemain, tiket tidak akan tersebar. Tanpa pemain, ruang
pertunjukan tidak akan riuh oleh tepuk tangan.
_Walhasil,
tanpa pemain, teater tidak akan ada yang memainkan. Dan dalam setiap permainan
teater, setiap bagian yang ada lebih baik bersiap untuk menghadapi
keberbagaian, bersiap menjadi bagian dari kesatuan, dan bersiap bersilang
sengketa ketika berupaya mewujudkan teater sebagai tubuh yang utuh dan padu.
Tetapi, sebagaimana tubuh kita, senyata mungkin satu bagian tubuh terasa sakit,
seketika itu bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit yang sama dan tidak
membiarkan sakit itu berjangkit lebih lama pada seluruh tubuh teater. Dengan
demikian, menyentuh tubuh teater adalah menyentuh keberbagaian pemain sekaligus
berupaya menjadi bagian dari segenap pemain yang ada: menyentuh diri
sendiri.
17 MEI 2012